Menimbang Pemilu 2019
Kamis, 16 Mei 2019 00:23 WIB
Pemilu 2019 merupakan ajang bergengsi bagi elite politik untuk menunjukkan siapa yang lebih pantas untuk menduduki takhta kekuasaan politik di Indonesia. Sebuah takhta yang menawarkan kejayaan dan kekuatan dalam mengatur bahkan memaksa rakyat untuk menuruti perintah ‘atasan’ tanpa mendengar adanya kicauan dari rakyat.
Tidak peduli siapa lawan atau kawan, menghalalkan segala cara sampai menjatuhkan harga diripun dilakukan untuk mendapatkan kursi yang lebih tinggi. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapatkan kehormatan sementara untuk membimbing kearah manakah Indonesia akan berlabuh.
Dimulai dari masa kampanye yaitu pada 23 September 2018 sampai 13 April 2019 tentu saja membuat ‘atasan’ untuk berusaha menarik simpati rakyat untuk memilihnya atau kelompok yang mengusungnya. Tentu saja dengan memberikan janji-janji manis dengan sedikit ‘hadiah’ terima kasih untuk masyarakat karena telah termakan janji manis tersebut tanpa perlu diaduk.
Bagaimana dengan masyarakat yang menjaring semua janji manis dari para ‘atasan’? Mengetahui ini tentu saja mereka tidak akan tinggal diam, mereka akan berusaha sekuat tenaga mereka bagaimanapun juga untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Semua adegan ini seperti seorang Ibu yang sedang memberi makan bubur kepada balita yang sudah kenyang, namun sang ibu tetap memaksa agar mulut balita tetap terbuka untuk mengunyah bubur yang entah apa isi buburnya.
Hoax adalah salah satu isi dari bubur yang ditelan mentah oleh rakyat. Masih ingatkah anda dengan Massive Hoax yang dilakukan oleh Ibu Ratna Sarumpaet? Ya, semua warga Indonesia hampir tertipu dengan ulahnya. Bagaimana tidak? RS yang merupakan timses salah satu paslon presiden mengaku telah dianiaya oleh beberapa orang suruhan paslon presiden lawan sampai-sampai mukanya babak belur. RS dengan optimisnya menyebarkan ‘pesona’ wajahnya ke khalayak online untuk mengetahui tanggapan netizen tentang keadaannya saat itu. Banyak warga yang menelan isi bubur tersebut secara mentah dan langsung mengecam paslon lawan. Bahkan, sang paslon yang diusung oleh RSpun berkata itu merupakan sebuah tindakan pengecut dan mati-matian untuk membela RS. Namun nyatanya setelah diselidiki, ‘pesona’ RS datang bukan dari penganiayaan namun dari hasil sedot lemak yang dijalaninya. Paslon yang diusung RSpun malu dan segera melakukan konfirmasi ke public perihal tersebut dan RS ditangkap oleh apparat karena telah melakukan hoax yang membuat seisi Indonesia geger. Lalu pertanyaannya kemana perginya semua rasa berani dan optimis tersebut? Bukankah semua itu dilakukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri? Tentu saja kita bisa menilai sendiri.
Stop dengan hoax kali ini akan membahas tentang debat presiden yang dilakukan mulai dari 17 Januari 2019 – 13 April 2019. Dalam debat yang berlangsung, diharapkan para balita mendapatkan edukasi yang berguna untuk memilih siapa yang terpantas dari yang paling pantas untuk menduduki singgasana presiden Indonesia tahun 2019. Tapi dalam kenyataan, semua debat tersebut terlihat konyol, bukannya memberikan pengetahuan yang baik namun mereka fokus kepada menyerang kelemahan lawan mereka. Walaupun memang ada pengetahuan yang benar-benar didapat dari debat tersebut, namun tidak menutup kemungkinan bahwa debat kali ini dikotori oleh hasrat para paslon untuk menjatuhkan eleektabilitas paslon lain.
17 April 2019 puncak kebebasan suara berpendapat rakyat akhirnya telah tiba, rakyat akan memilih yang terbaik dari yang terbaik untuk menjadi nahkoda kapal Indonesia yang kita cinta ini. Siapapun pemenangnya rakyat Indonesia harus ikhlas dan tabah untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pemimpin kita. Hasil dari pemilu akan diumumkan KPU secara resmi pada 22 Mei 2019 namun ada yang Namanya Quick Count yaitu hasil hitung cepat tidak resmi untuk menghitung kubu atau individu mana yang lebih unggul dalam ajang tersbesar demokrasi Indonesia ini. Masing-masing kubu telah percaya diri akan hasil perhitungan yang dilakukan Lembaga Quick Count namun hasilnya berkata lain. Kubu yang tidak senang dengan hasil tersebut tidak senang dengan hasil tersebut mengecam KPU dan kubu pemenang kongkalikong dalam pentas ini. Kubu pemenang pun tetap kekeh bahwa tidak ada kerjasama yang dilakukan dengan KPU.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa perlu adanya kecaman terhadap pemenang hasil Quick Count ? dan kenapa kubu pemenang perlu menanggapi hal tersebut, bukankah lebih enak membiarkan anjing yang menggonggong sepuasnya tanpa kita hiraukan? Apakah mereka tidak tahu berapa banyak pengorbanan yang dilakukan untuk menyukseskan pemilu ini? Apakah mereka tidak tahu berapa banyak pahlawan demokrasi yang gugur untuk memperjuangkan suara rakyat? Lantas apa mereka tidak malu atas hal yang telah mereka perbuat?
Penulis hanya berpesan jika pemilu tahun ini dipenuhi dengan ‘baju kotor’ maka akan didapat pelajaran bagi pemilu dan pesta-pesta demokrasi kedepan agar mencuci semua baju kotor sehingga putih suci kembali
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Menimbang Pemilu 2019
Kamis, 16 Mei 2019 00:23 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler